always trying,praying and creative
Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sisa-sisa Kenangan

Di sebuah kota kecil yang sepi, ada seorang gadis bernama Lila. Dia tinggal di sebuah rumah tua dengan cat yang mulai mengelupas, di mana setiap sudutnya menyimpan kenangan manis bersama kekasihnya, Arman. Mereka telah bersama selama tiga tahun, berbagi tawa, mimpi, dan harapan. Namun, hari itu, segalanya berubah.

Lila duduk di bangku taman, menunggu Arman seperti biasa. Mereka sering menghabiskan waktu di sana, di bawah pohon besar yang rindang. Namun, saat matahari mulai terbenam, Lila merasakan ada yang tidak biasa. Waktu terus berjalan, dan Arman tidak kunjung datang. Hatinya berdebar, perasaan tidak enak merayap di benaknya.

Setelah beberapa jam menunggu, Lila akhirnya menerima pesan singkat dari Arman. "Maaf, Lila. Kita harus bicara." Pesan itu terasa seperti petir di siang bolong. Dengan langkah berat, Lila menuju tempat yang telah mereka pilih—sebuah kafe kecil di sudut kota.

Saat Lila memasuki kafe, Arman sudah menunggu di sudut dengan wajah muram. Tanpa basa-basi, Arman mulai berbicara. “Lila, aku tidak bisa melanjutkan hubungan ini. Aku merasa kita sudah berubah, dan aku ingin mencari jalan hidup yang berbeda.”

Setiap kata yang keluar dari mulut Arman seperti pisau yang mengiris hati Lila. Dia ingin bertanya mengapa, apa yang salah, tetapi suaranya terjebak di tenggorokannya. Semua kenangan indah mereka berputar di pikirannya—senyuman pertama, canda tawa di bawah hujan, dan impian yang mereka bangun bersama.

“Tapi… kita bisa memperbaikinya,” Lila mencoba bertahan. “Kita bisa berjuang bersama.”

Arman menggelengkan kepala, air mata mulai membasahi pipinya. “Aku minta maaf, Lila. Ini keputusan yang sulit, tetapi aku sudah memikirkannya dengan matang.”

Lila merasa dunianya runtuh. Ia ingin berteriak, tetapi hanya bisa menahan isak. Rasa sakit itu menyengat, merobek semua harapan yang pernah ada. Setelah beberapa lama terdiam, Lila berkata dengan suara bergetar, “Jadi, ini akhir dari segalanya?”

Arman mengangguk perlahan. Mereka berpelukan satu terakhir kali, sebelum Lila merasakan pelukan itu semakin longgar, hingga akhirnya terlepas. Saat Arman pergi, Lila merasa seolah bagian dari dirinya hilang.

Hari-hari berlalu, dan Lila berusaha melanjutkan hidup. Namun, setiap sudut kota, setiap lagu yang terdengar, dan setiap senyuman orang-orang di sekelilingnya mengingatkannya pada Arman. Dia sering duduk di bangku taman itu, menunggu seseorang yang tidak akan pernah datang.

Suatu sore, saat Lila melihat matahari terbenam, dia menuliskan sebuah surat untuk Arman, meski tahu surat itu tidak akan pernah sampai. “Terima kasih untuk semua kenangan indah. Aku akan mengingatmu dengan cara yang baik, meskipun hatiku masih terasa sakit. Selamat tinggal, Arman.”

Lila menggulung surat itu, mengikatnya dengan pita kecil, dan meletakkannya di bawah pohon besar tempat mereka biasa duduk. Dia tahu bahwa meskipun Arman telah pergi, kenangan mereka akan selalu ada di sana, di sisa-sisa cinta yang tertinggal.

Dengan air mata yang mengalir, Lila berjanji pada dirinya sendiri untuk terus melangkah, meski hatinya masih penuh luka. Karena di dunia ini, kadang kita harus belajar untuk merelakan, meskipun itu terasa begitu sulit.

Posting Komentar untuk " Sisa-sisa Kenangan"